Jakarta || Bramastanews.com
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang memperbolehkan capres dan cawapres yang belum berusia 40 (Empat Puluh tahun) suatu putusan Mahkamah konstitusi cukup kontroversial, yang mengakibatkan multitafsir dan perdebatan dari kalangan para akademisi maupun praktisi. menurut Demas melalui surat resminya kepada Menkopolhukam, Kamis (19/10/2023).
Amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PU-XXI/2023 dengan amar putusan “Syarat menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk memilih kepala daerah”.
“Kami menilai putusan tersebut mengalami cacat hukum (legal defect) karena komposisi argumentasi putusan para hakim tidak sesuai dengan putusan menerima permohonan tersebut, dimana komposisi yang dimaknai sebagai berikut:
Yang mulia Guntur Hamzah, Yang Mulia Anwar Usman, dan Yang Mulia Manahan Sitompul menyatakan bahwa ketiga hakim tersebut setuju bahwa semua “berpengalaman sebagai kepala daerah dapat menjadi calon presiden dan wakil presiden meski belum berusia 40 (empat puluh) tahun”.
Yang mulia Enny Nurbaningsih dan Yang Mulia Daniel Yusmik Pancastaki menyatakan bahwa kedua Hakim tersebut memiliki concurring opinion (pandangan berbeda) menyebutkan “berpengalaman sebagai Gubernur dapat menjadi calon presiden dan wakil presiden meski belum berusia 40 (empat puluh) tahun”
Yang Mulia Arief Hidayat, Yang Mulia Suhartoyo, Yang Mulia Saldi Isra, dan Yang Mulia Wahiduddin Adam. Keempat hakim tersebut menyatakan “menolak permohonan” tersebut,” papar Demas.
Demas menjelaskan, dilihat dari komposisi pendapat para hakim tersebut ditemukan 3 perbedaan yaitu: 3 hakim setuju frasa “Kepala Daerah”, 2 hakim berbeda pandangan frasa “Gubernur” dan 4 hakim berbeda pendapat dengan “menolak”. Dimana sesungguhnya unsur materiil di dalam concurring opinion (pandangan Berbeda) adalah bagian yang berbeda dengan 3 hakim yang setuju/menerima permohonan, sehingga seharunya keputusan Mahkamah Konstitusi adalah menjadi menolak permohonan pemohon, bukan kemudian menerima permohonan. Terlebih lagi putusan MK (Mahkamah Konstitusi) sebagai Negatif Legislator /Pembatal norma/undang-undang, bukan positif legislator/pembuat norma hukum baru yang seharunya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang yaitu DPR RI. Ini yang menjadikan penilaian putusan MK kacau balau atau rusak secara hukum.
“Dengan adanya kondisi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka lembaga yang wajib menjalankan perubahan norma itu ialah KPU (komisi pemilihan umum) pada Pasal 13 Ayat (1) Huruf q PKPU (peraturan komisi pemilihan umum) nomor 19 tahun : syarat capres-cawapres berusia paling rendah 40 tahun agar disesuaikan dengan putusan MK. Namun dalam hal KPU melakukan revisi pada PKPU nomor 19 tahun 2023 tersebut tidak serta merta dapat langsung dilakukan pemberlakuan karena harus dilakukan konsultasi terlebih dahulu dengan DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) sebagai lembaga legislatif. Dan sangat dimungkinkan PKPU sebenarnya tidak dapat diberlakukan tanpa ada kejelasan perubahan pada pasal 169 undang-undang pemilu nomor 7 tahun 2017 oleh DPR RI karena sejatinya yang dirubah oleh MK adalah undang-undang tersebut,” terangnya.
Demas menyampaikan, dengan melihat kondisi kecacatan hukum pada putusan MK tersebut diatas sepertinya DPR RI akan meninjau terlebih dahulu sebelum dituangkan pada revisi pasal 169 undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu dan bisa saja DPR mengevaluasi dan merubah norma tersebut menjadi lebih jelas atas dasar kewenangan DPR pada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan : Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Karena DPR RI menganggap keputusan MK cacat hukum sehingga DPR menganggap Urgensinya perlu menggunakan kewenangan kekuasaan sebagaimana pasal 20 ayat (1) UUD untuk memperbaiki norma pada undang-undang, hal ini tidak dapat dimaknai DPR RI tidak melaksanakan putusan MK, namun DPR RI melakukan upaya perbaikan norma atas dasar kewenangan pada Pasal 20 (1) UUD 1945 tersebut.
“Di sisi lain KPU wajib melakukan rapat dengar pendapat dengan DPR RI sebagai bentuk konsultasi Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 9 dan Pasal 10 hasil revisi UU Pilkada dan wajib melaksanakan apapun keputusan DPR RI sebagai pemegang kekuasaan Undang-undang. Dan rapat dengar pendapat tersebut sangat dimungkinkan setelah masa reses pada tanggal 30 Oktober 2023, padahal pendaftaran akhir capres dan cawapres pada tanggal 25 oktober. Sehingga sangat dimungkinkan tidak terkejar dan norma putusan MK tak dapat digunakan pada tanggal 25 oktober tersebut.
Apabila KPU misalnya nekat/seandainya memaksakan diri untuk merevisi PKPU tanpa konsultasi dengan DPR RI terlebih dahulu, maka PKPU mengalami cacat formil (legal defect) karena prosedur penyusunan nya tidak sesuai aturan dan sangat mungkin akan memperpanjang persoalan karena PKPU tersebut dapat dilakukan upaya Judicial Review ke Mahkamah Agung sebagaimana diatur pada Pasal 20A UUD 1945: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang,” ungkap Demas.
“Menjadi hal yang terpenting adalah, nantinya KPU akan dicatat oleh sejarah bahwa Dengan mengesampingkan DPR RI maka KPU memperpanjang daftar sikap penyelenggara negara yang merusak hukum dan sewenang-wenang menjalankan kewenangannya pada tahapan pemilu. Terlebih KPU adalah lembaga yang wajib menghadirkan demokrasi dalam tahapan pemilu malah anti-demokrasi. Saya harap KPU mempertimbangkan matang-matang sikapnya di hari mendatang dengan tidak mengkhianati Demokrasi pada tahapan pemilu yang wajib dilaksanakan secara demokratis sebagaimana pasal 22E ayat (1) UUD 1945,” pungkas Demas. (RomoKefas)