PALI – Bramastanews.com, “Aku ndek sarak, aku ngen, aku idak senang,” Satu kalimat pendek, tapi meledak bagai petir di siang bolong. Ruang ijab kabul di salah satu desa di Kecamatan Abab, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), sontak berubah dari haru menjadi heboh pada sabtu 21 Juni 2025.
Pasangan mempelai pengantin, sebut saja Romeo dan Juliet (nama samaran), resmi menikah. Doa-doa masih mengalun, tawa kecil terdengar di sudut ruangan. Tapi tepat setelah ijab kabul dinyatakan sah oleh penghulu, Juliet langsung menyatakan minta cerai sambil langsung berdiri. Ia menatap tajam, lalu mengucapkan permintaan tak biasa di tengah sakralnya akad.
“Aku ndek sarak. Aku idak senang, Aku ngeen (Aku mau cerai, aku tidak senang, aku tidak mau),” katanya tegas di hadapan semua yang hadir.
Tamu-tamu tersentak. Seorang ibu ibu bahkan tak tahan untuk bertanya, “Ngape mitu, M**?* (kenapa begitu M***),” ucapnya lirih dengan bingung, menyebut nama asli sang pengantin perempuan yang disamarkan demi menjaga privasi.
Penghulu yang duduk di tengah ruangan mencoba menjaga suasana tetap tenang. Ia memandang sang pria, lalu bertanya:
“Cak mane denga? Nye mintek talak.” tanya sang penghulu.
Tapi Romeo tak bergeming. Ia menatap lurus dan menjawab tegas, “Sampai kapanpun aku idak nalak (sampai kapanpun, aku tidak ceraikan).” ucapnya dengan lugas bercampur sedih.
Fenomena Langka Tapi Nyata ini, dalam budaya masyarakat Kabupaten PALI, Sumatera Selatan, fenomena ini dikenal dengan sebutan “Duduk Kawin Berdiri Sarak” sebuah istilah adat yang menggambarkan pernikahan yang hanya seumur jagung. Baru saja duduk sebagai suami-istri, tiba-tiba salah satu langsung meminta cerai.
Secara adat, istilah ini sering menjadi peringatan bahwa pernikahan bukan hanya soal sah di hadapan penghulu, tapi juga kesiapan lahir batin. Karena itu, fenomena ini sangat jarang terjadi. Bahkan bisa dihitung dengan jari dalam satu generasi.
Tapi hari itu, legenda adat itu menjadi nyata. Tak hanya membuat heboh seisi kampung, tapi juga menggugah kesadaran banyak pihak: ada yang salah di balik layar kisah cinta ini.
Fenomena ini membawa pesan yang sangat dalam. Bahwa pernikahan bukan sekadar seremoni dan gaun indah. Ia adalah komitmen. Bukan hanya pada pasangan, tapi juga pada keluarga, masyarakat, bahkan adat dan Tuhan.
Jangan pernah memaksakan pernikahan jika hati belum siap. Sebab janji suci bukan main-main. Sekali terucap, ia menjadi ikatan yang melibatkan banyak jiwa.
Pentingnya komunikasi dan persiapan mental sebelum menikah menjadi sorotan. Pernikahan bukan akhir dari cerita cinta, tapi awal dari ujian kehidupan bersama. Jika pondasinya rapuh, maka bangunannya mudah runtuh.
Dan kini, Romeo dan Juliet menjadi simbol dari sebuah pertanyaan besar: Apakah cinta cukup untuk menyatukan dua hati yang belum satu niat? (Bm/Red)