Fenomena hidup dari makan tabungan disingkat ‘mantab’ yang banyak dialami kelas menengah di Indonesia, semakin parah. Hal ini jelas membuat bisnis perbankan kembang kempis.
Direktur BCA Santoso mengatakan, fenomena mantab saat ini, semakin menjadi-jadi. Khususnya dalam 3 sampai 6 bulan terakhir. Mulai dari kelas atas yang memiliki saldo jumbo hingga bawah, mengalaminya.
Artinya, kata Santoso, perekonomian Indonesia belum bisa disebut pulih dengan sebenar-benarnya. Karena banyak nasabah bank harus menguras isi tabungan demi bertahan hidup. Memenuhi kebutuhan primernya.
“Bisnis memang masih jalan, namun tumbuhnya mulai agak berat. Kebanyakan pebisnis mengalami slow down,” kata Santoso di Jakarta, dikutip Selasa (24/9/2024).
Dia bilang, kondisi makroekonomi saat ini, belum cukup pulih. Celakanya lagi, fenomena ‘mantab’ ini tidak hanya terjadi di masyarakat, namun juga dialami korporasi.
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), rata-rata saldo tabungan masyarakat per April 2024, merosot tajam dibandingkan sebelum pandemi COVID-19, yakni 2019.
Pada 2019, LPS mencatat, rata-rata saldo tabungan masyarakat di bank sebesar Rp3 juta per nasabah. Sementara posisi April 2024, tersisa hanya Rp1,8 juta per nasabah.
Selanjutnya, Santoso menyebut segmen masyarakat menengah ke bawah yang paling ‘benjol’. Ketika kondisi bisnis belum pulih, berdampak kepada efisiensi yang dilakukan perusahaan atau pemberi kerja.
Ketika masyarakat terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), mau tak mau mereka harus menarik dananya di bank. “Sehingga kesimpulannya mereka dalam kondisi survive mode, mungkin ada yang terkena PHK, bisnis lagi sepi, itu adalah realita,” pungkasnya.
Penjelasan bankir BCA ini, tentu tidak main-main. Per Juli 2024, LPS mencatat, jumlah rekening masyarakat Indonesia dengan saldo kurang dari Rp100 juta mencapai 580,01 juta rekening. Atau setara 98,8 persen dari total 586,95 juta rekening.
Dan, jumlah pemilik rekening bersaldo di bawah Rp100 juta itu, menjadi tiering dengan pertumbuhan tertinggi sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd) dibandingkan kelompok nominal lainnya, yakni sebesar 4,9 persen (ytd).
Secara tahunan, jumlah pemilik rekening di bawah Rp100 juta tumbuh dobel digit sebanyak 11,8 persen (yoy).
Di sisi lain, jumlah rekening dengan saldo jumbo alias di atas Rp5 miliar justru tumbuh signifikan. Yakni sebanyak 142,324 rekening, atau tumbuh 3,6 persen sepanjang tahun berjalan (ytd). Apabila dilihat secara tahunan, pertumbuhannya mencapai 8,6 persen (yoy).
Selain itu, pertumbuhan jumlah rekening pada tiering saldo lain mengalami peningkatan beragam. Sebut saja, rekening bersaldo Rp100 juta-Rp200 juta, tumbuh 1,3 persen (ytd) atau 3,8 persen (yoy).
Pada tiering saldo Rp200 juta-Rp500 juta, pertumbuhannya 2 persen (ytd), atau 3,6 persen (yoy). Untuk tiering saldo Rp500 juta-Rp1 miliar tumbuh 2,3 persen (ytd), atau 5,1 persen (yoy). Tiering saldo Rp1 miliar-Rp2 miliar tumbuh 4,4 persen (ytd), atau 5 persen (yoy). Sedangkan jumlah rekening tiering saldo Rp2 miliar-Rp5 miliar, tumbuh 2,2 persen (ytd), atau 4,9 persen (yoy).
Dengan demikian solusi dari kenyataan ini maka sudah barang tentu harus ada gerakan atau perubahan sistem perbankan yang melibatkan para penjamin dari Pemilik Sistem dan Pemilik Dana yang akan digunakan oleh perbankan untuk mendistribusikan kepada seluruh kalangan menengah dan masyarakat kurang mampu secara ekonomi. Dan solusi tersebut telah dijelaskan oleh Consultant Golden Eagle Internasional UNDP dalam berita yang telah di release beberapa hari sebelum ini. Merdeka !!!