Merasa Trauma!! Masyarakat Tolak Seismic

oleh -171 Dilihat

PALI – Sumatera Selatan BramastaNews.com

Setelah dua kali dalam 3 tahun di lintasi jalur aktivitas seismik, masyarakat sudah trauma dengan janji manis dan tipu muslihat oknum mafia migas yang ada di perusahaan seismik. Kali ini Perusahaan Seismik 3D “IDAMAN” PT Daqing Citra Petroleum Technology Service (DCPTS) kena imbasnya, terlepas pihak perusahaan yang kali ini benar atau tidak seyogyanya masyarakat sudah trauma dan tidak mau lagi dijanjikan.

Buntut trauma yang mendalam itulah, sekitar 200 orang masyarakat pemilik lahan telah memberikan kuasa kepada yang mereka anggap mampu mengurus itu dengan penuh tanggung jawab, dan dikabarkan para penerima kuasa bersama pemilik lahan berencana akan mengadakan aksi Penolakan Aktivitas Seismik, kabarnya aksi akan digelar di kantor Gubernur Provinsi Sumatera Selatan Minggu depan.

“Aksi Penolakan Aktivitas Seismik di lahan kita, yang pertama kami tidak senang dengan pihak perusahaan yang terkesan menyerobot lahan milik kami seenaknya tanpa ada pemberitahuan ke kami sebelum mereka melintas dan menginjakan kaki di lahan milik kami, mereka tidak ada sopan santun asal masuk kebun tanpa seizin pemilik lahan, itu sama halnya penyerobotan, padahal secara logika, mereka pasti marah jika kami masuk rumah mereka tanpa izin, misal kami asal masuk saja, meskipun hanya masuk dari pintu depan langsung keluar lewat pintu belakang tanpa ngambil apapun, mereka pasti tidak terima, begitu juga dengan kami,”ujar Ag (inisial-red) selaku pemilik lahan.

Kemudian yang kedua, lanjut Ag, “Saat sosialisasi di setiap desa sebanyak 8 desa di Kecamatan Tanah Abang, pihak perusahaan seismik bersikeras untuk memberikan ganti kerugian pemilik lahan dengan mengacu pada Peraturan Gubernur Sumsel Nomor 40 tahun 2017, warga pemilik lahan tidak di beri opsi, padahal tertuang jelas di Pergub itu ada opsi, kemudian nilai ganti kerugian itu sudah tidak relevan lagi, sehingga, jika aktivitas Seismik 3D tetap dilanjutkan maka otomatis kami selaku masyarakat sangat di rugikan.

Sementara itu, pihak penerima kuasa dari masyarakat membenarkan akan mengadakan aksi bersama masyarakat sebagai bentuk penolakan Aktivitas seismik, menurut nya mumpung belum terlalu banyak masyarakat yang dirugikan, meminta pemerintah jadi penengah agar pihak perusahaan mengosongkan lahan milik warga dari alat seismik, agar tidak terjadi benturan antara masyarakat pemilik lahan dengan pihak perusahaan seismik 3D.

BACA JUGA  Humas DPRD Kota Cimahi Jalin Kemitaraan Bersama IMG GRUP Media Sinarpos dan Satunews.id

“Pemberi kuasa telah mempercayakan kepada kami untuk mengurus lahan mereka terhadap masalah seismik 3D, kami sudah berkoordinasi dengan rekan kami kuasa hukum di jakarta, mereka berproses di sana, kami dilapangkan membantu masyarakat mengadakan aksi Penolakan, hal ini agar tidak terjadi bentrok atau hal-hal yang tidak diinginkan, artinya dari pada rugi karena lahan rusak kemudian repot berurusan soal ganti kerugian, lebih baik kita tolak di lewati lintasan jalur Seismik, pihak perusahaan aman tidak ada masalah, masyarakat pemilik lahan juga aman,” ujar Ketua Tim penerima kuasa.

Memang secara rinci dijelaskan pihak penerima kuasa kepada awak media ini, pada Selasa (11/06/2024) saat ditemui di Desa Raja Kecamatan Tanah Abang Kabupaten PALI, Penerima kuasa menerangkan. Ada indikasi pihak pelaksana berupa badan usaha menganulir dan berusaha mengelabui pemegang hak atas tanah dengan cara-cara tertentu.

Karena. Dikutip dari ketentuan Pasal 1 ayat 3 PERPPU 51 tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya, disebutkan bahwa pengertian memakai tanah ialah menduduki, mengerjakan dan/atau mengenai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan diatasnya, dengan tidak dipersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan sendiri atau tidak.

Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 40 tahun 2017 yang dipedomani pelaksana kegiatan untuk mengganti nilai kerugian atas pemakaian tanah akibat operasi survey seismik 3D
Idaman oleh PT Daqing Citra Petroleum Technology Service (DCPTS) telah terang-terangan berpihak pada praktik konglomerasi.

(lihat. Pasal 2 ayat (7) huruf c yakni : Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud huruf a dan b dilaksanakan, maka ketentuan ayat (1) tidak dapat dilakukan secarabersamaan)

Dalam peraturan tersebut, Gubernur telah membuat celah dengan memberikan pilihan yang paling menguntungkan kepada PT DCPTS yakni hanya membayar ganti kerugian terhadap jalur rintisan saja sebesar Rp. 5.000,- permeter maju dan Rp. 50.000,- berlobang bor.

BACA JUGA  Belum Lama di Pasang Sudah Rusak, Spek Lampu PJU Desa Cibogogirang Buruk?

Pasal 2 ayat (7) :
Apabila suatu tempat digunakan untuk penyelidikan/survey seismik pada
kegiatan eksploras! maka ganti kerugiannya ditetapkan sebagai berikut :
a. Rintisan Seismik per M (meter) panjang lintasan mendapat ganti rugi Rp 5.000,-
b. Lubang Seismik pada kegiatan eksplorasi mendapat ganti kerugian Rp 50.000,/lubang.

Sementara, nilai pembayaran yang semestinya diterima oleh masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah dihitung berdasarkan luas area (meter persegi) yang dipergunakan/dipakai untuk kegiatan seismik tidak pernah tersosialisasi dan sampai kepada pemegang hak. Dengan kata lain, masyarakat (pemegang hak) berhak menerima pembayaran ganti kerugian atas pemakaian tanah akibat operasi seismik dihitung berdasarkan luas area yang terpakai dengan besaran nilai tergantung pada jenis lahannya.

Jadi, jika pemilik tanah dengan jenis lahan perkebunan maka dihitung Rp. 4.550,- per meter persegi dikalikan luas tanah yang dipakai.

Pada Pasal 2 ayat (1)
Berdasarkan panjang jalur kegiatan, nilai ganti kerugian atas pemakaian tanah akibat operasi eksplorasi minyak, gas bumi, pertambangan dan energi ditetapkan sebagai berikut :
a) Tanah belukar, rawa, alang-alang yang ada pemiliknya Rp. 1,850,-/m2
b) Ladang yang diusahakan palawija dan sayur-sayuran Rp. 3.200,-/m2
c) Ladang/sawah yang ada padinya Rp. 3.800,-/m2
d) Kebun tanaman perkebunan Rp. 4.550,-/m2
e) Kebun tanaman buah-buahan dan lain-lain Rp. 3.350,-/m2

Sebagai contoh, Bapak Mugito memiliki lahan perkebunan karet seluas 1 Hektare (Ha). Lahan tersebut jika dikonversi dalam satuan meter persegi (M2) dari luas lahan 1 Ha. = 10.000 M2. Jadi, berdasarkan ketentuan huruf d) Pasal 2 ayat (1) Peraturan Gubernur No. 40 tahun 2017 untuk jenis lahan perkebunan tarifnya adalah sebesar Rp. 4.550,- Maka, nilai tarif tersebut dikalikan luas lahan milik Pak Mugito yakni, 10.000 M2
x Rp. 4.550,-
= Rp. 45.500.000,-

Dari ilustrasi contoh di atas sangat nampak kesenjangan perbandingan harga nilai ganti kerugian tersebut. Jika Pergub yang diterapkan menggunakan huruf a dan b pada Pasal 2 ayat (7), maka untuk luas lahan 1 Ha, Pak Mugito hanya menerima pembayaran :
1. Rintisan
Dengan jarak tiap rintisan 50 meter, maka dari luas lahan 1 Ha. terdapat 3 jalur rintisan.

BACA JUGA  Konsolidasi PDIP Perjuangan: Bapak Ronal Bahas Visi dan Program untuk Jawa Barat

Jadi, nilai ganti kerugiannya dihitung Rp. 5.000,- x 300m = Rp. 1.500.000,- 2. Lubang Bor , Jarak lubang bor adalah 50 meter maju dan 150 meter kesamping. Dengan luas lahan 1 Ha. hanya terdapat 3 lubang bor. Jadi, nilai ganti kerugiannya dihitung Rp. 50.000,- x 3 = Rp. 150.000,-

Total ganti kerugian yang diterima Pak Mugito jika diterapkan menggunakan pasal ini adalah sebesar Rp. 1.500.000,- + Rp. 150.000,- = Rp. 1.650.000,- saja.

Bandingkan jika Pak Mugito dikenakan Pasal 2 ayat (1) huruf d), Rp. 45.000.000 berbanding Rp. 1.650.000,-

Kondisi ini diperparah dengan sikap semena-mena PT DCPTS dengan masuk dan berkegiatan di atas tanah pemegang hak tanpa pemberitahuan apalagi izin.

Berdalih bahwa mereka telah mendapat izin dari pemerintah setempat dan telah pula melaksanakan sosialisasi seismik di desa-desa, justru membuat tindakan tersebut mengada-ada.

Dalam peraturan sebagaimana Pasal 35 UU Nomor 22 tahun 2001 tentang MIGAS disebutkan bahwa pemegang hak atas tanah diwajibkan mengizinkan kegiatan operasi seismik apabila sebelum kegiatan dimulai terlebih dahulu memperlihatkan kontrak kerja sama atau salinannya
yang sah, serta memberitahukan maksud dan tempat kegiatan yang akan dilakukan serta dilakukan terlebih dahulu penyelesaian atau jaminan penyelesaian yang disetujui oleh (masyarakat) pemegang hak atas tanah.

Larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya juga diatur dalam ketentuan Pasal 2 PERPPU Nomor 51 tahun 1960 berbunyi “dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah.”

Dengan demikian, kami atas nama pemegang hak atas tanah dan/atau penerima kuasanya yang sah dengan tegas menolak kegiatan operasi survey seismik 3D Idaman di atas tanah kami dan menyerukan penolakan kegiatan sebelum adanya kesepakatan sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mendesak Penguasa Daerah (Bupati dan/atau Gubernur) mengambil
tindakan dengan menghentikan kegiatan operasi survey seismik dan mengosongkan tanah yang bersangkutan berikut dengan segala barang dan
orang-orang yang berkegiatan di atasnya.(Tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *