PALI – Bramastanews.com, Anggaran publikasi DPRD Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) tahun 2025 yang mencapai Rp1,68 miliar menjadi sorotan. Pasalnya, sejumlah media lokal mengaku tak dilibatkan dalam kegiatan publikasi, sementara anggaran fantastis tersebut diduga justru mengalir ke media dari luar daerah.
Dugaan ketidakterbukaan dalam pengelolaan anggaran ini menyeruak setelah sejumlah media lokal menyampaikan kekecewaannya karena merasa “dipinggirkan” oleh Sekretariat DPRD PALI. Padahal, selama ini media lokal telah aktif berkontribusi menyebarkan informasi pembangunan daerah.
“Sangat disayangkan. Media lokal yang sudah berdiri dan mendukung kemajuan PALI justru tidak digandeng. Ini bukan hanya soal publikasi, tapi soal keberpihakan pada putra daerah,” kata Napoleon, seorang penggiat kontrol sosial, Senin (24/6/2025).
Menurutnya, praktik seperti ini bisa menimbulkan kecemburuan sosial, dan terkesan adanya “pilih kasih” dalam penyaluran dana publikasi. Bahkan, ia menilai penting dilakukan audit anggaran untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan dana negara.
Dari data yang berhasil dihimpun pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) tahun anggaran 2025 dengan pagu sebesar Rp1.6 miliar, yang dikelola Sekretariat DPRD Kabupaten PALI.
Sayangnya, upaya konfirmasi dari media ini kepada Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD PALI tak membuahkan hasil. WhatsApp sang pejabat tidak aktif dan belum memberikan respons hingga berita ini ditayangkan.
Salah satu pimpinan media lokal di PALI yang enggan disebutkan namanya mengatakan bahwa selama ini mereka hanya bisa “menonton dari luar pagar” setiap kali ada kegiatan publikasi DPRD.
“Selalu media dari luar yang digandeng. Kami yang di sini, malah tidak diajak bicara. Padahal kami tahu kondisi dan kebutuhan publik lokal jauh lebih baik,” ujarnya.
Kondisi ini dinilai bertolak belakang dengan semangat transparansi dan akuntabilitas yang seharusnya menjadi komitmen lembaga legislatif.
Di era digital yang menuntut penyebaran informasi secara cepat dan luas, anggaran publikasi semestinya menjadi alat untuk memperkuat kemitraan dengan media lokal, bukan justru menyisihkan mereka.
“Transparansi tak cukup di atas kertas. Harus dibuktikan dengan keterbukaan dan pemerataan manfaat bagi semua, termasuk media lokal,” pungkas Napoleon. (Bm/Red)