Faktanya Bukan Ceritanya. Masyarakat Butuh Sarapan Bukan Harapan

oleh -537 Dilihat

Musi Rawas – Bramastanews.com, Junaidi adalah sosok yang berakar kuat pada tradisi pesantren, yang di dalamnya terkandung ajaran luhur tentang kebijaksanaan, keadilan, dan keseimbangan. Nilai-nilai tersebut mengalir dalam setiap langkah politiknya, menjadikannya tokoh yang konsisten menjaga netralitas. Baginya, netralitas bukanlah ketidakpedulian, melainkan sebuah sikap untuk tetap berpihak pada kepentingan rakyat dan kemaslahatan bersama, terutama di tengah kontestasi politik yang kerap memecah belah.

Dalam perannya sebagai Ketua BPD dan Waketum PABDSI, Junaidi sering dihadapkan pada situasi di mana politik menjadi panggung utama. Namun, ia tetap teguh pada prinsip bahwa pemimpin desa adalah penjaga demokrasi di tingkat akar rumput, yang harus berdiri di atas semua golongan. Keberpihakannya pada masyarakat, bukan pada partai atau calon tertentu, menjadikannya sosok yang dihormati di Musi Rawas.

BACA JUGA  Penyuluhan PHBS : ” Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat Di Pesantren

Keberhasilannya mempertahankan netralitas di tengah pergulatan politik lokal menunjukkan bahwa Junaidi tidak hanya piawai dalam memimpin, tetapi juga mampu menjaga marwah demokrasi desa. Sebagai ‘anak ndeso’ yang lahir dari kesederhanaan, ia membuktikan bahwa sikap bijak dan adil dapat tumbuh dari mana saja, bahkan dari desa yang sering kali terabaikan dalam peta politik nasional.

Suara Seorang Anak Ndeso: Tiarap dan Tetap Netral

Junaidi juga mengaskan, untuk sementara waktu, kami memilih untuk tiarap. Kami tetap pada posisi netral, sesuai dengan aturan yang berlaku. Sebagaimana diketahui, Kades, pemerintah desa, dan BPD dilarang untuk ikut serta dalam kampanye. Namun demikian, kami terus mengamati perkembangan yang ada di wilayah Sumatera Selatan.

BACA JUGA  H. Amran Optimis 65% Suara untuk Devi-Ferdinand di PALI, Wujudkan Pembanguan Jalan dan Tanggul Penahan Banjir

Bagi kalangan kaum terpelajar, istilah Vox Populi, Vox Dei sudah begitu akrab di telinga. Dalam bahasa Indonesia, frasa Latin tersebut berarti “Suara rakyat adalah suara Tuhan.” Di tengah kontestasi politik yang akan berlangsung pada 27 November 2024 mendatang, suara rakyatlah yang menjadi penentu utama. Hitam dan putihnya panggung politik, baik dalam pemilihan gubernur, bupati, maupun wali kota, akan diputuskan oleh rakyat.

Namun, uniknya, suara wakil Tuhan di bumi ini sulit ditebak. Siapa yang akan mereka pilih? Kandidat mana yang akan mendapatkan dukungan? Parpol mana yang akan mereka percayai? Semua itu masih menjadi misteri. Satu hal yang pasti, suara rakyat sejati tak dapat dibeli, apalagi hanya dengan iming-iming kecil seperti sebungkus indomie.

Kami ingin menegaskan, suara rakyat bukan sekadar cerita atau janji, melainkan fakta nyata yang akan berbicara. Rakyat tidak butuh janji, melainkan bukti,gak butuh lagi harapan tapi tindakan nyata, dari pemimpin yang benar-benar hadir untuk mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *