Kami Kehilangan Aku Terkucilkan

oleh -235 Dilihat
Foto mengenang malam ketiga, Senin (29/1/2024)

Oleh : Hendrawan

Ceritaku…

Bramastanews.com – Waktu masih remaja, aku pikir kehilangan seorang kekasih yang dicintai adalah momen paling menyakitkan yang di alami oleh setiap manusia. Karena di dalamnya ada rasa sedih, kecewa, sekaligus marah. Begitu banyak perasaan negatif yang akan di rasakan.

Saat usia bertambah, ternyata dalam hidup kita justru lebih sering mengalami kehilangan. Masalah datang silih berganti kadang membuat apa yang digenggam jadi terlepas, menjadikan sesuatu yang semula membahagiakan jadi lenyap.

Dewasa kini, terlalu sering menjatuhkan air mata, hal itu merupakan suatu cara ku untuk meluapkan emosional yang tak terkendali.

Kita mengecap rasa sakit saat kehilangan. Tak jarang rasa itu begitu membekas sampai sulit untuk dilupakan. Menerobos masuk hingga ke pusat memori yang terdalam dan menetap di sana.

Perlahan kita mulai menghujat hidup yang terasa tak adil, kadang pula aku menyalahkan Tuhan yang tak mengabulkan Doa’ku, hingga timbul pertanyaan ngaur di benakku apakah benar Tuhan itu ada dan punya segala kuasanya?

Kehilangan Anak Sulung

Dewasa kini, seharusnya menjadikanku kuat dalam menjalankan hidup yang tidak seberapa lamanya, Air mata itu kembali menetes tepatnya pada jumat malam pukul 22:15 setelah mendengar bahwa kakaku satu satunya telah meninggal dunia di Rumah Sakit saat diriku tak ada disampingnya.

BACA JUGA  Jelang Momen Politik, Hipma-Wansel Tegaskan Bukan Sebagai Gerbong Politik

Setelah mendengar kepergiannya, di benakku hanya memikirkan apa yang akan terjari kepada kedua orang tuaku, apakah mereka sanggup menerimanya, pasalnya kakak pertamaku merupakan harapan dan kebanggaan mereka namun kini telah tiada.

Sesampainya mayat tersebut di kediaman, melihat ayah dan ibuku lesuh dengan mata yang bengkak krna tangisan yang tak berhenti seakan pasrah dengan kehidupan dan tak bisa lagi berbuat apa apa.

Yang paling membekas ialah, di tengah kehilangan, malah tumbul kata membanding bandingkan antara aku dan kakakku, segala aspek di kaitkan segala keburukan di lampiaskan kepadaku dan aku jauh dari kata baik seperti yang di harapkan.

Dewasa kini, akupun masih mendapat cacian bahkan istriku kadang menjadi korban, bahwa diriku tak berguna apapun untuk keluargaku, ibarat kata kasarnya ialah, apabila keluarga bisa memilih mengapa bukan aku saja yang mati mengapa harus kakaku.

Aku merasa terkucilkan, segala omongan kesalahan dalam keluarga setelah kepergian kakaku di bebankan kepadaku, se akan akulah dalang dan sebab kematian kakaku.

Namun, kata-kata simpati dari teman dan saudara yang ditujukan langsung padaku menjadi sumber semangat baru. Aku bersyukur masih banyak orang yang peduli dan mau mendoakan. Itu semua ibarat air hujan yang membasahi kekeringan hati kami sekeluarga.

Aku hanya perlu menghadapi setiap kesakitan tadi. Merasakan dengan sepenuh hati lalu berdamai dengannya. Memaafkan apa yang telah terjadi. Sebab semakin kuat kita menghindar, sakit itu bukannya hilang. Malah semakin dalam masuk ke pikiran bawah sadar.

BACA JUGA  Demokrasi di Tangan Sistem Oligarki

Kita memang tak bisa memilih kesedihan yang akan diterima. Jangan pula merasa tak pantas menerima musibah yang sedang dialami. Lupakan bertanya pada Tuhan mengapa kita diuji sebegitu berat. Sebab hanya Allah SWT yang lebih mengetahui apa yang terbaik bagi hidup kita.

Menulis Sebagai Tuangan Emosional 

Selain mencoba berdamai dengan kesedihan, emosional kadang lebih indah menjadi satu karya tulis, hal ini pula menjadi suatu kenangan setelah kepergiannya (Hendriawan Ahmad Balani) bahwa sampai hari ini pun diriku masih memikirkanmu hingga selamanya.

Aku percaya bahwa menulis adalah salah satu terapi jiwa. Lewat tulisan-tulisan itu aku berhasil mengeluarkan keping-keping kesedihan dengan cara positif. Seluruh cerita tadi mampu menambal kepedihan luar biasa yang kualami. Tak hilang, memang… tetapi aku paksakan saja untuk terus menulis dalam kondisi perasaan yang tidak menentu.

Aku melalui fase sulit dengan rapuhnya diriku setelah kepergian, seakan diriku coba melawan takdir namun semua itu mustahil untuk aku lakukan. Namun aku tidak punya pilihan selain harus kuat. Menyibukkan diri dengan menulis dan bertemu orang adalah salah satu usahaku agar tak terlalu sering melamun dan berduka. Walau jika kalian peka, kesedihan itu masih kerap terlihat di sela senyum dan kata-kata yang meluncur tanpa beban.

BACA JUGA  Media Center Indonesia adakan Silaturahmi dan Diskusi, Maupun berbagi Pengalaman Sebagai Wartawan

Ujian hidup yang penuh pelajaran
Aku berterima kasih telah diberi ujian hebat olehNya. Itu pertanda aku masih disayang hingga perlu diingatkan. Lewat ujian, aku belajar kuat dan berhenti menyesali nasib. Belajar bersyukur dengan warna-warni kehidupan yang mendewasakan ini. Semuanya merupakan pelajaran yang amat berharga. Aku benar-benar ditempa melalui peristiwa yang tidak diharapkan.

Orang-orang yang kini ada di sekeliling satu saat akan pergi satu persatu, entahlah, apa aku yang akan deluan. Menghilang dari hidup kita dengan cara yang berbeda-beda. Berkaca dari pengalaman kehilangan sebelumnya, aku terus berlatih untuk menerima kejutan-kejutan dalam hidup yang mungkin tak selalu sesuai pesanan.

Lewat tulisan ini aku ingin berbagi kepada siapa saja yang tengah berduka atas kehilangan. Menangislah untuk mengeluarkan emosi agar lega. Bersedihlah hingga air mata kering. Hadapi dan terima saja rasa sakitnya. Kemudian berdamailah dengan keadaan dan senantiasa berprasangka baik.

Akupun menutup tulisanku dengan Do’a semoga engkau disana (Hendriawan Ahmad Balani Bin Sauste) berada di tempat yang baik tepat disisi ALLAH SWT. AAMIIN