PALI – Bramastanews.com, Transparansi dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Sungai Langan, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), menjadi perbincangan hangat setelah akun media sosial @SungaiLanganBersatu memposting pertanyaan terkait kinerja BUMDes tersebut. Postingan itu memicu reaksi warganet yang menyoroti dugaan penyelewengan dana dan lemahnya pengawasan BUMDes di wilayah tersebut.
Komentar yang muncul di media sosial menggambarkan keresahan masyarakat terhadap pengelolaan dana desa. Akun @EfranLais, misalnya, menyoroti perlunya audit menyeluruh terhadap semua BUMDes di Kabupaten PALI, bukan hanya BUMDes Sungai Langan.
“Kalau mau audit, seluruh desa Kabupaten PALI juga di audit, jangan cuma Sungai Langan,” tulisnya.
Hal senada disampaikan akun @SollezaPutraSinagha, yang mendesak aparat penegak hukum untuk turun tangan dalam mengusut dugaan korupsi. “Kebanyakan korupsi, laporkan,” tulisnya.
Namun, yang paling kontroversial adalah komentar akun @SungaiLanganBersatu: “Ketua BPD tidak bisa bersuara, karena dana BUMDes dia yang pegang.” Komentar ini menimbulkan dugaan adanya konflik kepentingan antara Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan pengelola BUMDes, yang seharusnya menjadi pengawas.
Kepala Desa Sungai Langan Angkat Bicara
Merespons polemik yang berkembang, Kepala Desa Sungai Langan, Herman, akhirnya angkat bicara. Dalam keterangannya kepada media, Herman mengungkapkan bahwa hingga saat ini belum ada laporan serah terima pengelolaan BUMDes dari pengurus lama kepada pemerintah desa.
“Ya benar, selama ini kami minta penyerahan dari pengurus lama, namun hingga saat ini belum kami terima,” ungkap Herman.
Menurut Herman, absennya laporan tersebut menghambat proses pembentukan kepengurusan BUMDes yang baru. Situasi ini, kata Herman, membuat revitalisasi BUMDes Sungai Langan menjadi tidak maksimal.
Ketua BPD Sungai Langan, Prengki, menyatakan bahwa terkait narasi yang di posting di media sosial dan sempat viral yang mengatakan bahwa dana bumdes di pegang oleh BPD tersebut tidak benar.
“Kami sebagai ketua BPD tidak mengetahui, bahkan sampai saat ini belum menerima laporan dari BUMDES”, tegasnya.
Tata Kelola dan Konflik Internal
Masalah BUMDes Sungai Langan mencerminkan kelemahan tata kelola dan pengawasan BUMDes di tingkat desa. Berdasarkan regulasi yang ada, Kepala Desa dan BPD memiliki peran penting dalam memastikan transparansi dan akuntabilitas BUMDes.
1. Kepala Desa sebagai Komisaris
Dalam kapasitasnya sebagai komisaris, Kepala Desa memiliki tanggung jawab strategis, seperti memberikan arahan, menyetujui Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT), mengevaluasi kinerja pengurus, serta mengangkat dan memberhentikan pengurus melalui musyawarah desa. Namun, dalam kasus Sungai Langan, tugas ini tampaknya terganggu oleh miskomunikasi dan konflik internal.
2. BPD sebagai Pengawas
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memiliki peran penting dalam mengawasi kinerja pemerintah desa, termasuk pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Fungsi utama BPD adalah memastikan transparansi dan akuntabilitas, seperti mengawasi pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT), melakukan audit internal, dan memberikan rekomendasi perbaikan atas segala kekurangan dalam pengelolaan BUMDes.
Namun, fenomena di lapangan, ketidakharmonisan hubungan antar lembaga desa sering kali menjadi pemicu utama konflik. Ketegangan antara Kepala Desa, BPD, dan pengurus BUMDes kerap menghambat jalannya tugas pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh BPD. Akibatnya, BPD tidak menjalankan fungsi pengawasan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan.
Berbagai komentar warganet mencerminkan desakan mendesak untuk perbaikan tata kelola BUMDes, dengan evaluasi dan audit menyeluruh menjadi perhatian utama. Kondisi ini menggambarkan bahwa tata kelola BUMDes di Kabupaten PALI saat ini berada dalam situasi yang sangat memprihatinkan.
Desakan tersebut mencuat dari kekecewaan masyarakat terhadap pengelolaan dana desa yang dianggap tidak transparan dan penuh konflik kepentingan. Hal ini memperlihatkan adanya kebutuhan mendesak untuk meningkatkan pengawasan dan profesionalisme dalam pengelolaan BUMDes, agar dapat berfungsi sebagai alat pemberdayaan ekonomi masyarakat, bukan sebagai lahan konflik atau penyalahgunaan wewenang.