PALI, Bramastanews.com Konflik antara Serikat Pekerja Mandiri Aburahmi dan PT. Aburahmi menunjukkan bahwa hubungan industrial di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) masih jauh dari kata ideal. Keberadaan perusahaan yang seharusnya menjadi pengaman ekonomi masyarakat justru kerap menimbulkan persoalan, termasuk pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak yang dinilai tidak adil.
Ketua Serikat Pekerja Mandiri Aburahmi, Roy Martin menilai tindakan perusahaan tidak hanya menciderai hak pekerja, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan perusahaan di daerah. Ia juga mempertanyakan peraturan perusahaan yang dipakai sudah lama tidak berlaku dan itu diketahui oleh pihak disnaker PALI.
“Kami akan memohon kepada DPRD PALI untuk melakukan pemanggilan pihak perusahaan, dan membantu anggota kami yang di PHK agar mendapatkan keadilan”, tegas Roy.
Di tengah mediasi yang berulang kali gagal dan tak membuahkan hasil, para pekerja dan masyarakat menuding perusahaan menggunakan alasan yang dibuat-buat untuk memberhentikan pekerja tanpa mempertimbangkan asas keadilan.
“Keberadaan perusahaan di PALI seharusnya membawa manfaat bagi masyarakat, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. PHK sepihak seperti ini menunjukkan bahwa hak-hak pekerja sering diabaikan demi kepentingan perusahaan,” ujar Darmadi, Ketua BPD Air Itam Timur, yang turut mendampingi pekerja dalam mediasi di Disnaker PALI, Selasa (21/01/2025).
Ia menegaskan, warga dan pekerja berharap pemerintah, baik tingkat desa hingga kabupaten dalam hal ini Disnaker, agar lebih proaktif dalam menjalankan fungsi pengawasan dan melindungi hak-hak buruh. Menurutnya Disnaker mempunyai peran strategis dalam menjamin masyarakatnya tidak menjadi korban kebijakan perusahaan yang merugikan.
Pakar hukum ketenagakerjaan sekaligus aktivis pekerja/buruh, Dr. Subiyanto Pudin, S.Sos. SH. CLA., menyoroti kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak terhadap dua pekerja PT Aburahmi, Sumaidin Parsito dan Yayan Saputra, yang dinilai tidak sejalan dengan amanat Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Menurut Dr. Subiyanto, pemerintah, pengusaha, dan pekerja seharusnya semaksimal mungkin menghindari PHK dan mengutamakan pembinaan. Ia menegaskan bahwa atas dugaan kesalahan yang dilakukan kedua pekerja tersebut, perusahaan sepatutnya memberikan pembinaan melalui tahapan sanksi, seperti Surat Peringatan (SP), sebelum memutuskan hubungan kerja.
“Atas kesalahan yang dilakukan oleh Sumaidin sebagai operator eskavator dan Yayan sebagai helper, secara hukum tidak wajar jika langsung dilakukan PHK. Sepatutnya, perusahaan memberikan pembinaan terlebih dahulu melalui mekanisme Surat Peringatan,” ungkap Dr. Subiyanto pada Selasa (21/1/2024).
Dr. Subiyanto juga menjelaskan bahwa dugaan kesalahan kedua pekerja tersebut terjadi karena mereka berada di bawah tekanan dari pihak humas perusahaan yang memberikan perintah langsung. Posisi ini membuat mereka sulit menolak, karena menolak perintah atasan bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran disiplin.
“Prinsipnya, kami mendukung upaya pimpinan perusahaan dalam mendisiplinkan pekerja. Namun, kami memohon agar hal tersebut dilakukan secara proporsional dan profesional, bukan atas dasar suka atau tidak suka, apalagi kebencian,” tambahnya.