Bekasi-Jabar || Bramastanews.com
15 Januari 2024 Presiden/Wakil Presiden dipilih secara langsung berdasarkan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 yang menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Kedudukan Presiden/Wakil Presiden cukup kuat, tidak dapat dijatuhkan secara politis dalam masa jabatannya. Artinya Presiden/ Wakil Presiden tidak dapat dimakzulkan akibat putusan kebijakan (doelmatigheid beslissing) yang ditetapkan atau dijalankan Presiden/ Wakil Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara. Maka selaku pejabat negara tertinggi, keduanya dapat menetapkan kebijakan (doelmatigheid beslissing) dalam makna beleidsgebied.
Kebijakan pemerintahan semacamnya tidak termasuk ranah kewenangan justisi, artinya tidak dapat dibawakan ke hadapan hakim. Seorang warga negara atau sekelompok warga yang merupakan pendukung (konstituent) di kala pemilihan umum boleh saja tidak lagi mendukung kebijakan pemerintah yang dimaksud, namun mereka tidak dapat mencabut mandatum politik yang telah diberikan pada pemilihan umum yang lalu.
Earl of Balfour mengemukakan pendapatnya tentang sistem pemerintahan yang menerapkan pemilihan presiden dan wakil presiden “Under the Presidential system, the effective head of the national administration is elected for a fixed term. He is practically irremovable. Even if he is proved to be inefficient, event if he becomes unpopular, even if his policy is unacceptable to his countrymen, he and his methods must be endured until the moment comes for a new election”.
Motie van Wantrouwen yang diajukan tidak mengakibatkan pemerintah jatuh. Resiko politis yang kemungkinan para konstituen pendukung tidak lagi memilihnya pada pemilihan umum berikutnya, tidak berarti pengawasan (kontrol) DPR tidak ada lagi terutama dalam rangka menjalankan APBN.
Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN diajukan Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Apabila DPR tidak menyetujui RUU APBN dimaksud, pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu (Pasal 23 UUD 1945). Pasal 20A UUD 1945 mencantumkan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Presiden dan Wakil Presiden tidak kebal hukum. Pasal 1 ayat (3) menyatakan: Negara Indonesia adalah negara hukum.
HUKUM ACARA PEMAKZULAN
Sebelum Perubahan UUD 1945, tidak ada pasal konstitusi yang mengatur hal pemakzulan Wakil Presiden, dan bagaimana cara pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal 8 (redaksi lama) UUD 1945 hanya menetapkan, “Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”. Namun, dari bunyi Pasal 6 ayat (2) (redaksi lama) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Maka dapat disimpulkan pada era itu, Presiden dan/atau Wakil Presiden dimakzulkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat(MPR).
Penjelasan UUD 1945, di bawah Judul Sistem Pemerintahan Negara, butir III, dinyatakan Presiden yang diangkat oleh Majelis bertindak dan bertanggung jawab kepada Majelis. Artinya, MPR juga yang berwenang memakzulkan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kelak, berdasarkan Pasal 5 ayat (2) TAP MPR Nomor VII/ MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden RI Berhalangan ditentukan a.l. bahwa dalam hal Presiden dan/atau Wakil Presiden berhalangan tetap, termasuk di kala berhenti atau tidak melaksanakan kewajiban dalam masa jabatan.
Maka MPR dalam waktu selambat-lambatnya satu bulan setelah Presiden dan Wakil Presiden berhalangan tetap sudah menyelenggarakan Sidang Istimewa untuk memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, yang masa jabatannya berakhir sesuai dengan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang digantikannya.
Pada masa sebelum Perubahan UUD 1945, MPR telah memakzulkan dua Presiden RI, yakni Ir. Soekarno, berdasarkan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 dan K.H. Abdurrahman Wahid, berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/2001. Pada Perubahan Ketiga UUD 1945, yang diputuskan dalam Rapat Paripurna MPR-RI ke-7 (lanjutan 2), tanggal 9 November 2001, juga ditetapkan hal pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 7A UUD 1945 menetapkan, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dinyatakan pada Pasal 7B UUD 1945, usul pemberhentian Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan atau pendapat Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden (ayat 1).
Pasal konstitusi dimaksud bersifat imperatif, bahwasannya usul pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diajukan oleh DPR kepada MPR setelah terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi guna mengadili dan memutus pendapat DPR tentang hal pelanggaran yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pendapat DPR yang dimaksud adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR (ayat 2). Pengajuan permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR (ayat 3). Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama 90 hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi (ayat 4).
Pasal ini memaklumkan bahwa pemeriksaan mahkamah adalah proses peradilan dan putusannya adalah putusan justisil. Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR (ayat 5).
Konstitusi memberikan syarat manakala mahkamah konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR tidak terbukti maka proses pemakzulan tidak bakal berlanjut ke MPR. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut (ayat 6).
Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR (ayat 7). Berbeda halnya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam proses pemakzulan Presiden dan/ atau Wakil Presiden maka Keputusan MPR bukan putusan justisil tetapi keputusan politik. MPR melakukan een politieke beslissing nemen terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam proses pemakzulan.
Mekanisme pemakzulan
Kepala negara yang dalam hal ini adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni sebagai bentuk penegasan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, ini merupakan suatu Langkah maju dalam perspektif ketatanegaraan supaya pemakzulan yang didasari faktor non-yuridis semata tidak terjadi Kembali pada masa mendatang.
Pada sisi lain negara hukum harus memiliki prinsip yang menghendaki suatu peradilan yang merdeka yaitu yang tidak dapat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan lain yang akan membuat mekanisme pemakzulan kepala negara.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan penegasan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, ini merupakan suatu Langkah maju dalam perspektif ketatanegaraan supaya pemakzulan yang didasari faktor non-yuridis semata tidak terjadi Kembali pada masa mendatang.
Pada sisi lain negara hukum harus memiliki prinsip yang menghendaki suatu peradilan yang merdeka, yang tidak dapat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan lain yang akan membuat disetujui pula oleh 2/3 dari anggota parlemen yang hadir.
Tahapan selanjutnya ialah di Mahkamah Konstitusi (MK), tahapan ini terjadi apabila pendapat dari Dewan Perwakilan Rakyat tentang kondisi atau pelanggaran hukum yang menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak memenuhi syarat lagi telah disetujui dan sesuai dengan syarat pada tahapan sebelumnya.
Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya mengajukan pendapatnya ke Mahkamah Konstitusi yang akan memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadil-adilnya dalam waktu 90 hari. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusilah yang dapat memutuskan apakah pendapat yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat ini terbukti atau tidak. Tahapan terakhir terdapat pada keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pendapat yang diajukan DPR terbukti, maka DPR akan menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskankan usul pemberhentian tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Dalam waktu paling lambat 30 hari setalah menerima usul dari Dewn Perwakilan rakyat, Majelis Pemusyawatan Rakyat harus melaksanakan sidang untuk memutuskan usulan pemberhentian tersebut. Prmakzulan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden diputuskan dalam rapat paripurna MPR yang wajib dihadiri oleh sekurangkurangnya ¾ dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan keputusan tersebut disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota yang hadir.
Pada rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat ini Presiden dan/atau Wakil Presiden diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasannya.
Prof Moh. Mahfud MD menjelaskan bahwa jika dikaji dari Pasal 7A dan Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945, pemakzulan Presiden harus dimulai dari penilaian dan keputusan politik di Dewan Perwakilan Rakyat (impeachment). Kemudian masuk ketahapan pemeriksaan pemeriksaan dan putusan hukum dari Mahkamah Konstitusi (forum previlegiatum), lalu dikembalikan lagi ke prosedur impeachment (Dewan Perwakilan Rakyat meneruskan ke Majelis Permusyawaratan Rakyat) untuk diputuskan secara politik, apakah putusan Mahkamah Konstitusi itu perlu diikuti dengan melakukan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden atau tidak.
Hal ini mengartikan bahwa proses pemakzulan di Indonesia melalui proses politik-hukum politik, yang mana dilakukan dari proses pendapat atau usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), proses pembuktian pada Mahkamah Konstitusi (Hukum), dan putusan pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
KEPUTUSAN POLITIK
Keputusan MPR sehubungan dengan usul pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden bukan putusan justisil (peradilan) tetapi keputusan politik (politieke beslissing). Pemeriksaan dalam rapat paripurna MPR terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden bukan persidangan justisil tetapi merupakan forum politik ketatanegaraan. Pemeriksaan atas usul pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden bukan bagian dari ranah kekuasaan kehakiman, sebagaimana termaktub pada Pasal 24 UUD 1945. Manakala rapat paripurna MPR kelak memakzulkan Presiden dan/atau Wakil Presiden maka keputusannya sebatas removal from the office, yakni memakzulkannya dari jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Keputusan MPR tidak memuat sanksi pidana dan semacamnya, penyidikan dan penuntutan daripadanya kembali kepada pemerintahan baru yang menggantikannya. Oleh karena itu, keputusan MPR kelak bisa saja tidak memakzulkan Presiden dan/atau Wakil Presiden walaupun sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah memutuskan hal terbuktinya Pendapat DPR. Manakala rapat paripurna MPR menerima baik penjelasan Presiden dan/atau Wakil Presiden, sebagaimana dimaksud pada Pasal 7B ayat (7) UUD 1945, niscaya MPR tidak memakzulkan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Hal ini bukan berarti keputusan politik menyampingkan putusan justisil tetapi hal pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan kewenangan MPR, bukan kewenangan peradilan.
Dari hal tersebut sudah sangat jelas dan terang benderang sangatlah tidak mungkin pemakzulkan Presiden di lakukan sedangkan pendukung partai politik di pemerintahann mencapai 60% atau 349 kursi anggota DPR-RI atau 9 partai politik dan kepercayaan di Masyarakat mencapai 82%, dalam kaitan kepemimpinan Presiden IR JOKO WIDODO.
Hal ini tentunya dalam kaitannya pemilihan presiden harusnya statement atau pernyataan tersebut diutarakan oleh tokoh politik dan tokoh praktisi hukum tentunya sangat tidak mempunyai komitmen untuk mencapai pemilu damai adil dan sejahterah apalagi kaitanya dengan politik hukum ketatanegaraan. Kami menghimbau kepada seluruh tokoh bangsa para senior tokoh politik dan senior praktisi hukum, jangan membuat pernyataan membuat gaduh masyarakat yang tinggal menghitung hari akan melaksanakan pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden serta calon anggota legislatif Tingkat kota provinsi dan pusat.
SUMBER
1. UNDANG-UNDANG
2. JURNAL HUKUM
3. ARTIKEL HUKUM
4. MEDIA ONLINE
5. DPC AWIBB Bekasi Raya