Jakarta, kabarnusa24.com – Para penyair dan aktivis sastra dari sejumlah komunitas sastra yang bergiat di Jabodetabek, seperti Dapur Sastra Jakarta, Taman Inspirasi Sastra Indonesia, Sastra Reboan, Bengkel Deklamasi, Ruang Puisi Kita, Jagat Sastra Milenial, Komunitas Sastra Semesta, Forum Seniman Indonesia, Komunitas Menteng Jakarta, Komunitas Planet Senen, Penyair Seksih, Teater Jalanan Nusantara, Koloni Seniman Ngopi Semeja/Kesengsem-Depok, Sastra Senja, Geng Sendal Jepit, Komunitas Indonesia Kreatif/KEPIK, Kampung Seni Jakarta, FSP-TIM, dan beberapa lainnya, ramai-ramai menandatangani Petisi yang ditujukan kepada Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Mereka hadir menghangatkan perhelatan Hari Puisi Nasional dengan tema “Panjang Umur Puisi Indonesia” yang digelar oleh FSP-TIM, Sabtu malam (28/4), yang dibuka oleh Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Iwan Henry Wardhana, di Posko #saveTIM, di kawasan Pusat Kesenian Jakarta – Taman Ismail Marzuki. Diantara para penyair, terlihat juga budayawan Taufik Rahzen, Iwan Burnani (aktor senior Bengkel Teater Rendra), Effendi Saman, SH (kuasa hukum FSP-TIM).
Penyair Sutardji Calzoum Bachri menjadi pengisi acara utama dengan menyampaikan Amanat Kebudayaan. Selama lebih kurang dua puluh menit, penerima Penghargaan SEA Write Award dari Raja Thailand itu, mengemukakan ketokohan Chairil Anwar, yang tanggal wafatnya dijadikan Hari Puisi Nasional, baik sebagai penyair muda maupun sebagai manusia Indonesia yang memiliki sikap dan integritas tinggi dalam urusan politik, dan kebudayaan. “Chairil itu penyair pesanan zaman!” tegasnya. Lebih jauh Sutardji membedah perkembangan sastra, perpuisian, dan pergulatan pemikiran kebudayaan Indonesia, dengan tokoh-tokohnya, antara lain Chairil Anwar, H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi Pane, hingga era Taufik Ismail, Rendra, Wiji Thukul, dan era digital sekarang.
Pada bagian akhir amanahnya, dengan emosional, Sutardji yang kini berusia 81 tahun, menyampaikan penyesalan dan kegeramannya berkenaan dengan nasib Taman Ismail Marzuki, yang seakan sudah bukan lagi ruang yang lapang dan merdeka bagi para seniman. Apalagi, sesaat sebelum ia menyampaikan amanahnya, hujan gerimis sempat membasahi tempat acara.
“Saya bersedih lihat begini. Saya bersedih. Kita punya gedung yang begitu hebat, ya. Tapi kena hujan tadi, kita nyisir. Kita kayak gembel. Dan yang lebih sedih lagi, saya tak bisa ikut berjuang bersama kalian yang muda-muda. Saya sudah terlalu tua. Lelah saya. Sebab saya, pikiran saya, makan sehari-hari saja sudah susah betul! Jadi saya, dua kali sedih. Sedih melihat diri sendiri. Juga sedih melihat keadaan ini. Lucu sekali! Alangkah menyedihkan. Tetapi apakah kita memikirkan itu?”
Kepada para seniman, ia berpesan agar terus-menerus meningkatkan nilai dan makna sebagai manusia. “Jadi, kalau kau bilang manusia ini lemah, karena berasal dari tanah, ya, jangan kau berhenti hanya menjadi tanah. Tapi dari tanah itu, jadilah mulia. Kau bisa jadi batu mulia. Jiwamu jadi mulia. Kata-katamu jadi mulia. Tapi, kemuliaan itu hanya bisa tercapai, kalau kau letakkan dirimu pada kemuliaan itu. Ada keterhubungan dengan kemuliaan, dengan zat yang mulia.”
Adapun petisi yang dibacakan ditengah acara, oleh Exan Zen, Romo Marthin, David Karo-Karo, Tatan Daniel, Nuyang Jaimee, Mogan Pasaribu, Sihar Ramses Simatupang, Sari Chikata, Joe Marbun, dan Eko Prakoso, yang ditujukan kepada Dewan Kesenian Jakarta, menurut Ketua Umum Federasi Pekerja Seni Indonesia (FPSI), Mujib Hermani, dilatar belakangi oleh mencuatnya sejumlah persoalan genting yang menjadi perbincangan di kalangan publik. “Sekarang ini sudah berkembang fenomena tidak sehat yang mengancam ekosistem kesenian di Jakarta. Kami menilai, kondisi buruk itu sangat potensial mengganggu jalannya kegiatan kreatif dalam proses penciptaan seni di kalangan seniman. Termasuk marwah Taman Ismail Marzuki, yang saat ini masih dikuasai oleh PT Jakpro! Mengenai kasus TIM ini, Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid sudah mengatakan itu lewat tulisannya di harian Kompas. Kami sangat prihatin. Tapi DKJ sepertinya sama sekali tidak peduli. Begitu pula dengan Akademi Jakarta..”
Para seniman, dengan diinisiasi oleh Forum Seniman Peduli Taman Ismail Marzuki (FSP-TIM), menyampaikan “Petisi Cikini Raya 73” sebagai pernyataan keprihatinan yang dalam atas sikap dan kebijakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) selama ini. Para seniman, baik yang bergiat di bidang sastra, teater, musik, tari, film, menilai Dewan Kesenian Jakarta tidak berpikir dan bekerja dengan benar, dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai perwakilan kepentingan seniman, dan dalam menjaga ruang-ruang ekspresi kesenian di TIM, dan di lima wilayah Jakarta, termasuk Gelanggang Remaja.
Petisi yang akan segera dikirim kepada DKJ dan Akademi Jakarta itu, menuntut Dewan Kesenian Jakarta agar tidak melakukan pembiaran terhadap penyimpangan proses dan hasil revitalisasi fisik dan non fisik Taman Ismail Marzuki yang dilakukan oleh PT Jakarta Propertindo, yang ditengarai mengandung permasalahan teknis dan non-teknis, malpraktik perencanaan, malpraktik pembangunan, dan malfungsi. Kesalahan merancang dan membangun, yang diakui oleh Dirut PT Jakpro, sebagai “nasi sudah jadi bubur.”
Dewan Kesenian Jakarta juga dituntut agar secara tegas menolak tarif penyewaan ruang dan bangunan yang ditetapkan sepihak oleh PT Jakarta Propertindo, agar segera melaksanakan rekomendasi Musyawarah Kesenian Jakarta 2022, yaitu revisi regulasi Peraturan Gubernur Nomor 4 Tahun 2020 tentang Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta, dan rumusan Rencana Strategis Pengembangan Kesenian di Jakarta, yang sampai hari ini belum dituntaskan, begitu pula dengan rekomendasi Musyawarah Kesenian Jakarta tentang kandidat anggota Dewan Kesenian Jakarta periode 2023-2026 yang saat ini di tangan Akademi Jakarta.
Selain itu, Dewan Kesenian Jakarta dituntut untuk melaksanakan tugas kuratorial terhadap aktivitas yang berlangsung di kawasan Taman Ismail Marzuki, dan segera mengupayakan agar ruang dan gedung khususnya yang dikuasai dan dikelola oleh PT Jakarta Propertindo, segera dibuka untuk dapat dipergunakan oleh para seniman. Para seniman juga menuntut Dewan Kesenian Jakarta untuk mencantumkan nama Ajip Rosidi (sebagai pendiri TIM), dan Huriah Adam, untuk ruangan atau gedung yang ada di TIM.
Kewajiban advokasi juga harus dilaksanakan oleh DKJ menyangkut nasib Joel Thaher sebagai karyawan tetap Dewan Kesenian Jakarta yang diberhentikan secara tidak benar, tanpa alasan yang jelas. Para seniman menuntut agar Dewan Kesenian Jakarta memberikan pertanggungjawaban, pembelaan dan perlindungan.
Acara yang berakhir sebelum tengah malam, dirayakan dengan pembacaan puisi oleh Nestor Rico Tambun, Narima Beryl Ivana, Romo Marthin, Sihar Ramses Simatupang, Jose Rizal Manua, Remmy Novaris, Riri Satria, Ireng Halimun, Moktavianus Masheka, Wig SM, Eki Thadan, Nurhayati, Dyah Kencono Puspito, Nuri Laksmi, Theodora Polar Hutadjulu, Nanang R. Supriyatin, Megawati Nurdin, Mita Katoyo, Iwoe Banyu Gesang, Giyanto Subagio, Endin SAS, Rachma Effendi, Ayu, Nunung Noor El Niel. Pentas “Nyanyi” puisi disajikan dengan menarik oleh Qthink Cakrawala dari Geng Sendal Jepit, dan Iyus Jayadibumi dari kelompok Kromatik.
Sebelumnya, Tatan Daniel, aktivis FSP-TIM yang juga peserta Musyawarah Kesenian Jakarta 2022, mengenalkan empat kandidat anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta periode yang akan datang, yang direkomendasikan oleh Musyawarah Kesenian Jakarta; masing-masing Sihar Ramses Simatupang, Exan Zen, Imam Maarif, dan Nuyang Jaimee. Keempat mereka adalah pegiat sastra yang dikenal aktif diberbagai komunitas se-Jabodetabek.
(***)